Jumat, 12 April 2019

Depression is not a choice, it’s a disease



Depression is not a choice, it’s a disease

Saya terdiagnosa dan sedang berjuang melawannya



Saya seseorang yang pendiam, memiliki kepribadian tertutup dan sulit mengekspresikan emosi. Hal ini yang akhirnya menjadi boomerang bagi saya. Setiap masalah rasanya tak perlu saya ceritakan ke orang lain, tak terkecuali keluarga saya dan teman terdekat saya.  Saya takut dianggap lemah dan aneh. Namun saya masih merasa bahagia dengan hidup saya kala itu, masalah tak pernah membuat saya menjadi beban yang berlarut. Pada akhirnya setiap rasa sedih dan masalah yang saya tahan sendiri membuat saya tidak pernah menyadari bahwa saya mengalami depresi, hingga ada satu hal dalam hidup saya yang membuat saya sadar bahwa saya sakit..

Saya teramat mencintai seseorang, yang saya fikir dialah yang akan menjadi akhir untuk saya. Setiap hari saya berdoa agar saya terus bisa bersama dengannya, agar saya bisa segera menikah dengannya, agar dia dijaga oleh Allah dalam setiap jalan hidupnya. Saya memohon begitu tulus.. dan saya yakin setiap apa yang dia janjikan kepada saya, setiap apa yang dia katakana kepada saya adalah hal yang sama tulusnya. Saya begitu bahagia ketika dia membicarakan pernikahan, persis dengan apa yang saya harapkan selama ini. Sekali lagi, saya yakin dia begitu tulus..

Namun akhirnya saya tahu, apa yang selama ini saya yakini tak pernah nyata., dia memilih untuk pergi meninggalkan saya tanpa memberi alasan apa yang membuat saya tak berarti lagi dihidupnya. Yaaa, saya sakit dan kecewa atas sesuatu hal yang tak pernah saya mengerti darinya, berbagai pertanyaan berputar – putar di kepala saya. Sesekali saya sangat marah namun sesekali saya merasa “apa benar saya tak pantas baginya?” saya tak pernah menemukan jawaban.

Saya menangis setiap hari, menyalahkan diri sendiri, merasa tak percaya diri lagi. Berhari – hari saya kehilangan selera makan, saya susah fokus pada pekerjaan, tak ada satu hal pun yang membuat saya terhibur, sekalipun beberapa teman saya tak henti – hentinya menasehati dan mendengarkan kesedihan saya. Orang tua begitu sedih melihat saya terluka, entah sudah berapa kali saya tak dapat menahan air mata didepan mereka, saya merasa begitu sakit.. Saya bisa merasakan belaian iba tangan bapak di kepala saya setiap kali saya menangis di depannya, saya pun dapat merasakan kekecewaan hati ibu . Saya merasakan bagaimana orang tua saya juga terluka melihat anaknya begitu terpuruk.

Saya tak pernah berhenti mendekatkan diri pada Allah, mencoba mencari cara agar hati saya tenang. dalam waktu berminggu – minggu beberapa teman sering mengajak saya hangout, saya sering mengajak mereka mencari kegiatan, mengikuti kajian dan saya mengunjungi beberapa kota. saya berusaha bangkit.

Namun ada begitu banyak gejolak yang tiba – tiba hadir. Gejolak emosi dan ketakutan akan kesendirian, kehilangan hal – hal dalam hidup saya lagi, kegagalan, ketakutan, yang saya tidak mengerti mengapa muncul namun sangat menganggu. Saya sering menangis, sekalipun saya masih menangis karena patah hati namun ada saat – saat saya merasa begitu sedih dan menangis tanpa sebab. saya sering bermimpi buruk di malam hari dan kerap kali bermimpi tentang kenangan – kenangan saya dengannya dulu. Pada akhirnya ketika bangun tidur, saya hanya bisa menangis tanpa tahu apa yang harus saya perbuat untuk mengontrol perasaan dan emosi saya.

Tak ada teman, tak ada keluarga, tak ada siapapun yang tahu apa yang terjadi pada malam – malam saya. Mereka berfikir sudah cukup bagi saya untuk tidak meratapi kesedihan karena patah hati. Yaa karena ketika pagi saya beraktiftas, saya berusaha keras tampak baik – baik saja. Saya harus baik ketika bekerja dan memaksakan diri untuk bisa fokus pada pekerjaan. Orang – orang diluar masih melihat saya seseorang yang murah senyum, mudah tertawa dengan hal – hal konyol. Mereka masih bisa melihat tawa yang saya hadirkan untuk menutupi rasa sedih saya. setiap siang saya tampak baik – baik saja, tetapi setiap malam saya sangat menderita. Setiap saya memejamkan mata, perasaan yang hadir adalah kesendirian dan ketakutan. Rasa itu ibarat vacum cleaner yang menyerap dalam ruang kegelapan hingga tiba – tiba saya merasa sesak dan menangis sejadi – jadinya. Pada titik itu, hanya kematianlah rasanya obat yang berharga. Saya sering merasa ingin mengakhiri hidup. Saya membayangkan ketika saya berkendara ingin sekali saya menabrakan diri masih banyak lagi.

Saya mulai sadar bahwa ada yang salah terhadap apa yang saya rasakan. Saya mulai mencari tahu untuk mengatasinya, atas saran teman, saya datang ke psikolog seorang diri. Seringkali saya ragu apakah saya perlu ke psikolog, namun apa yang saya rasakan benar – benar menganggu kehidupan saya. Akhirnya saya menemui psikolog, berkonsultasi tentang apa saja yang saya rasakan. Saya tak malu menangis. saya merasa lega setelah saya berkonsultasi dengan psikolog. dalam perjalanan pulang, saya yakin setelah ini saya akan bahagia lagi.
Namun, ternyata emosi – emosi ini hadir lagi. Ketika saya masih saja menjatuhkan air mata didepan orang tua saya dan mengatakan bahwa rasanya saya ingin mengakhiri hidup, mereka hanya berucap. “Kamu itu cantik, berpendidikan, tak ada kurangnya ,banyak laki – laki yang masih mau sama kamu” . Kenyataanya kalimat – kalimat itu tak pernah bisa menghibur saya.

Saya menangis lagi, marah lagi, mudah tersinggung, dada dan nafas terasa sesak dan kelelahan. Adik yang tidur di samping saya sering menjadi tempat saya menangis hingga tertidur pulas.

Semangat untuk bekerja hilang, saya nyaris absen pada pekerjaan karena saya merasa begitu lelah, tidak dapat fokus, melamun, sensitif, ketakutan dan tak dapat menahan untuk menangis kapan saja. Dunia saya terasa hitam kelam, penuh dengan kesedihan, dunia serasa menjauhi saya, saya dibuang dalam kesendirian, saya dikendalikan emosi saya. Saya merasa Allah kejam. Saya meyakini bahwa saya diciptakan sendiri dan tak ada yang peduli dengan saya. Pada saat itu saya hanya butuh bahu untuk bersandar, pelukan yang hangat. Tetapi saya tak pernah mendapatkannya dari siapa pun. Tiba – tiba saya merasa benci teman – teman dan keluarga saya. Saya menarik diri dari mereka, saya menarik diri dari sosial media, saya hanya ingin sendiri.

Awal februari saya sudah tak sanggup lagi dengan kondisi itu. Saya memutuskan untuk datang ke psikiater. disinilah titik terang muncul. Saya masih ingat, dengan tangan gemetar dan menangis saya menjawab setiap pertanyaan yang dokter ajukan kepada saya, saya menjelaskan apa yang saya rasakan. Dokter juga mencari tahu apa latar belakang saya, masa kecil saya, hubungan dengan keluarga saya, kepribadian saya hingga masalah – masalah yang pernah hadir dalam hidup saya. Pada akhirnya dokter mendiagnosa saya mengalami depresi.
Saya harus menjalani pengobatan dengan obat – obatan seperti sertraline (antidepresan jenis SSRI),  aprazolam (anti kecemasan, psikotropika golongan iv) dan aripiprazole selama minimal 6 bulan kedepan dan rutin kunjungan ke psikiter, namun dokter meminta saya untuk berkunjung kembali dengan orang tua saya. Saya bingung apa yang harus saya lakukan, di masjid rumah sakit setelah sholat dzuhur saya hanya bisa diam dan menangis. mengapa saya begini, pikirku..pikiran saya kalut
Seketika saya takut, saya takut menceritakan ini ke orang tua. Berhari – hari saya pendam, saya mencoba menghubungi beberapa teman saya, saya ingin menceritakan apa yang ternyata selama ini saya alami, namun beberapa dari mereka seolah tak peduli lagi dengan saya, sulit sekali hanya untuk sekedar membalas pesan saya. jalan satu – satu nya saya harus mengatakan kepada keluarga.

Pertama saya mulai terbuka pada adik saya, berharap dia mengerti. Beberapa malam saya selalu menyampaikan bahwa saya takut terbuka pada orang tua. Dia seseorang adik yang baik dan mendukung saya. Tanpa sepengetahuan saya, dia mencoba membantu saya dengan menceritakan apa yang saya alami pada ibu saya. Tiba – tiba satu hari, ibu menelpon saya ketika saya masih berada di kantor, seketika saya menangis, rasanya seperti ada satu titik terang di kegelapan yang saya pendam selama ini.

Kunjungan ke psikiater kedua itu saya datang didampingi ibu. Sepanjang jalan dan selama berkonsultasi dengan dokter hanya rasa takut yang saya rasakan, yaitu takut ibu akan kecewa pada saya. Namun hari itu juga, di depan dokter saya melihat ibu saya juga ikut menangis mengetahui betapa menderitanya saya. Saya melihat ibu saya sedih.. hati saya sakit. Setelah itu, dirumah beberapa kali saya sering menangis di pelukan ibu saya, hanya beliau tempat saya ingin menangis, saya mudah menangis karena belum benar-benar pulih dari perasaan sakit hati dan kekecewaan saya.  Beberapa minggu setelah menjalani pengobatan, saya merasa membaik. ibu juga mengevaluasi perubahan saya, Beliau sampaikan perubahan – perubahan mood saya pada dokter. Sampai tulisan ini saya buat, sudah 2 bulan saya menjalani pengobatan dengan 3x kunjungan ke psikolog dan 6x kunjungan ke psikiater. masih ada beberapa bulan lagi yang harus saya jalani untuk sembuh.

Saya sadar belum sepenuhnya pulih, kadang kala emosi dan perasaan – perasaan negatif masih menghantui, rasa putus asa dan pesimis begitu besar. namun saya tahu apa yang terjadi dalam diri saya, saya sakit dan saya harus sadar itu. Dengan begitu saya yakin ada sakit ada pula sembuh. Maka saya harus yakin akan ada kesembuhan. Saya mencoba sembuh..

Dengan tulisan ini saya ingin menyampaikan, bahwa kesedihan dan depresi itu berbeda. Stigma selama ini mengatakan bahwa depresi adalah kesedihan. Kenyataanya kesedihan bagian dari gejala depresi. Seseorang merasa sesekali sedih adalah normal. Namun, seseorang yang dinyatakan depresi mengalami kesedihan dan putus asa yang berkepanjangan hingga menganggu kehidupannya. Depresi disebabkan beberapa faktor kompleks, seperti yang saya alami karena disebabkan faktor biologis (ketidakseimbangan neurotransmitter dalam otak) dan faktor psikologis (kepribadian yang tertutup dan peristiwa traumatis seperti kehilangan dan patah hati). Depresi bukan pilihan, jika itu pilihan siapa yang akan memilih untuk mengalami depresi ? Hanya karena patah hati juga belum tentu depresi, jika patah hati faktor utama depresi, mengapa tak semua orang yang patah hati mengalami depresi? sekali lagi, depresi disebabkan beberapa faktor kompleks.

Lalu saya kerap kali merasa ingin mengakhiri hidup, dan justru banyak yang menghakimi, bahwa saya kurang mendekatkan diri pada Allah, padahal kenyataanya sebaliknya. Suicidal person tidak ingin mati, kami hanya ingin mencari cara untuk lolos dari rasa sakit yang teramat menjepit. Tak ada pilihan lain selain ke psikiater/psikolog. takut dianggap gila ? padahal memang sangat menderita. Oleh karena itu, penghakiman dan stigma kalian sangat berbahaya, kadang yang membunuh adalah penghakiman dan stigma. Depresi sendiri adalah penyakit. Depresi bisa diatasi, namun stigma dan penghakiman bisa membuat seseorang tidak berobat padahal dia bisa tertolong.

Diakhir tulisan ini, saya sangat berterimakasih pada beberapa teman yang pertolongan mereka sangat berarti bagi saya . Pertama temanku Fruri, dia orang pertama yang mengulurkan tangan untuk saya ketika saya benar – benar terpuruk, dia tempat saya bercerita dan entah sudah berapa kali dia mendengar saya menangis dan mengeluh mengutarakan ingin mengakhiri hidup. Dia selalu mendukung saya hingga detik ini. Siapapun istrinya nanti, akan jadi wanita beruntung yang memiliki suami seperti dia :)
Kedua adalah mas Alan, mas Dika, rekan kantor saya, yang sering menghibur saat saya sedih dan bersedia meluangkan waktu di akhir pekan sekedar nongkrong, nonton dan makan di kafe hehehe

Selanjutnya adalah beberapa teman saya yang tinggal satu kota maupun diluar kota, ada mbak Ona, psikolog dari komunitas @goodfriends.smg yang membantu saya memahami emosi dan apa yang ada dalam perasaan saya. Beberapa teman – teman saya yang bersedia menemani saya walau hanya sekedar berjalan –jalan. Beberapa komunitas sosial pun juga membantu mengembalikan semangat saya. Terakhir saya sangat bersyukur memiliki adik yang baik, ibu yang selalu menemani saya kunjungan ke dokter, bapak yang kerap kali saya melihat beliau sedang mendoakan saya di sepertiga malam, kakek dan nenek saya yang kasih sayangnya melebihi orang tua saya sendiri, tante Yuni yang sudah menganggap saya anaknya sendiri, dia tak pernah lelah membantu saya bangkit. Saya yakin Allah begitu menyayangi saya dengan menghadirkan mereka di hidup saya dan telah menjauhkan orang – orang yang mungkin tak baik untuk saya. Saya terus berdoa memohon kesembuhan dan kebahagiaan lagi, Dalam doa dengan suara yang lirih, aku memohon “Ya Allah, bantu hamba memaafkannya, entah bagaimanapun caranya… Bantu hamba untuk sembuh” saya yakin Allah akan mengerakkan hati saya, menemani jalan saya sekalipun saya manusia yang penuh khilaf di mata- Nya.
 

Triste Template by Ipietoon Cute Blog Design